Apakah hal terbaik
yang telah kau berikan pada ibumu?
Sungguh pertanyaan sederhana
namun begitu sulit untuk dijawab. Ketika saya hendak menjawab
"Kuliah", saya bertanya kembali ke diri saya, "Bukankah justru kuliah
adalah hal terbaik yang ia berikan kepadamu". “Bekerja di perantauan” juga
bukanlah jawaban terbaik karena ibuku selalu mengeluh agar aku segera pulang ke
kampung dan bekerja disana.
Belakangan aku berpikir apakah
aku sulit menjawab pertanyaan ini, lantaran aku anak perempuan yang kurang
dekat dengan ibu. Aku pun mencoba menelusuri sejarah kecil dalam keluargaku.
Mencari apa yang salah antara hubungan ibu dan anak perempuannya. Dulu, aku
selalu nempel ke Bapak, dari kecil sih begitu. Aku selalu nyaman berada di
dekat Bapakku. Dia sosok pendiam, murah hati dan sabar terhadap keluarganya.
Yang paling kusenangi darinya adalah ketika aku minta duit, selalu diberikan
olehnya. Maklum, anak kesayangan. Sedangkan Ibu, dia selalu saja ngomel setiap
ada kesempatan. Adikku , Dheta hobinya sama dengan ibu. Shopping dan fashion. Beda denganku, paling aku suka
pake baju rombeng jalan-jalan ke Gramedia membeli beberapa buku di tumpukan rak
diskon. Dheta, selalu jadi yang prioritas.
Pribadi dan karakternya mirip sekali dengan ibuku.
Ibuku orangnya suka bergaul,
sedang aku lebih suka menyendiri. Kami pun tidak terlalu dekat. Beberapa kali,
aku suka beradu pendapat dengannya. Aku kadang merasa bahwa ibu terkadang
keterlaluan terhadap Bapak. Bapak selalu sabar, dan tidak pernah mencoba
memarahi ibuku. Pernah sekali dia begitu marah karena aku melawan kehendaknya.
Tapi, aku bersikeras dengan sikapku yang kuanggap benar. Bapak hanya diam,
sesekali dia menggelengkan kepala melihat kekerasan hatiku. Ketika hubungan ibu
dan anak memburuk, Bapak selalu berusaha menengahi dan menasehatiku. Ia berkata
bahwa “Biar bagaimana pun jeleknya dia, dia tetap ibumu”.
Tahun 2009 yang lalu, Bapak mulai
sakit-sakitan. Ia terbaring lemah di rumah sakit karena kanker Neosofaring. Aku dan ibu bergantian
menjaganya karena adikku Dheta berada di Ternate bersama suaminya. Saat Bapak
terbaring lemah, aku melihat ibuku begitu telaten merawat Bapakku. Ia menjadi
sosok ibu yang selalu kuinginkan selama ini. Sosok ibu yang feminim, mencintai
suami dan anak-anaknya dengan penuh ketulusan. Bapak dirawat dengan baik oleh
ibu. Suatu saat, ketika shift jagaku
tiba di rumah sakit, Bapak berkata padaku. “Jangan terlalu keras sama mama’mu.”
Aku seperti biasa mencoba ngeles, dan membela diri. Sampai suatu saat, Bapak
meninggal. Tidak ada lagi sosok penengah yang selalu mendinginkan hatiku. Aku
selalu menyesali kekerasan hatiku. Kadang aku berpikir, Bapak mungkin sakit
karena selalu memikirkan anaknya yang diam tapi selalu memberontak. Bapak
meninggal sudah empat tahun yang lalu.
Namun kesedihan yang ditinggalkan karena kepergiannya seperti awet, tak mau
beranjak.
Hingga saat ini, aku selalu berselisih
pendapat dengan Ibuku. Meskipun begitu, tidak merubah betapa penting perannya dalam keluarga. Tanpa ibu,
keluarga menjadi sepi dan kurang lengkap. Beberapa orang berkata “Lebih baik
ditinggalkan Bapak, daripada ditinggalkan Ibu”. Benarkah. Kehilangan Bapak,
adalah kehilangan terbesar dalam hidupku. Namun, aku tidak bisa membayangkan
akan seperti apa hidup tanpa Ibu. Ibu
tidak bisa tergantikan, karena doanya lah yang mampu memberikan keselamatan dan
kesuksesan dalam setiap hal yang kita usahakan. Aku belum bisa memberikan
apapun baginya. Mungkin karena aku tak pernah mencoba mencari tahu dan memahami apa yang dia inginkan. Hanya
waktu dan doa yang bisa kuberikan kepadamu. Sekarang, atau nanti.