#1

Drupadi

#2

Harga Diri

#3

sex workers can end HIV/AIDS.

#4

Silent Body

#5

Everyone's always wearing a mask

Kamis, 26 September 2013

Apakah hal terbaik yang telah kau berikan pada ibumu?




Apakah hal terbaik yang telah kau berikan pada ibumu?

Sungguh pertanyaan sederhana namun begitu sulit untuk dijawab. Ketika saya hendak menjawab "Kuliah", saya bertanya kembali ke diri saya, "Bukankah justru kuliah adalah hal terbaik yang ia berikan kepadamu". “Bekerja di perantauan” juga bukanlah jawaban terbaik karena ibuku selalu mengeluh agar aku segera pulang ke kampung dan bekerja disana.

Belakangan aku berpikir apakah aku sulit menjawab pertanyaan ini, lantaran aku anak perempuan yang kurang dekat dengan ibu. Aku pun mencoba menelusuri sejarah kecil dalam keluargaku. Mencari apa yang salah antara hubungan ibu dan anak perempuannya. Dulu, aku selalu nempel ke Bapak, dari kecil sih begitu. Aku selalu nyaman berada di dekat Bapakku. Dia sosok pendiam, murah hati dan sabar terhadap keluarganya. Yang paling kusenangi darinya adalah ketika aku minta duit, selalu diberikan olehnya. Maklum, anak kesayangan. Sedangkan Ibu, dia selalu saja ngomel setiap ada kesempatan. Adikku , Dheta hobinya sama dengan ibu. Shopping dan fashion. Beda denganku, paling aku suka pake baju rombeng jalan-jalan ke Gramedia membeli beberapa buku di tumpukan rak diskon. Dheta, selalu jadi yang prioritas. Pribadi dan karakternya mirip sekali dengan ibuku.

Ibuku orangnya suka bergaul, sedang aku lebih suka menyendiri. Kami pun tidak terlalu dekat. Beberapa kali, aku suka beradu pendapat dengannya. Aku kadang merasa bahwa ibu terkadang keterlaluan terhadap Bapak. Bapak selalu sabar, dan tidak pernah mencoba memarahi ibuku. Pernah sekali dia begitu marah karena aku melawan kehendaknya. Tapi, aku bersikeras dengan sikapku yang kuanggap benar. Bapak hanya diam, sesekali dia menggelengkan kepala melihat kekerasan hatiku. Ketika hubungan ibu dan anak memburuk, Bapak selalu berusaha menengahi dan menasehatiku. Ia berkata bahwa “Biar bagaimana pun jeleknya dia, dia tetap ibumu”.

Tahun 2009 yang lalu, Bapak mulai sakit-sakitan. Ia terbaring lemah di rumah sakit karena kanker Neosofaring. Aku dan ibu bergantian menjaganya karena adikku Dheta berada di Ternate bersama suaminya. Saat Bapak terbaring lemah, aku melihat ibuku begitu telaten merawat Bapakku. Ia menjadi sosok ibu yang selalu kuinginkan selama ini. Sosok ibu yang feminim, mencintai suami dan anak-anaknya dengan penuh ketulusan. Bapak dirawat dengan baik oleh ibu. Suatu saat, ketika shift jagaku tiba di rumah sakit, Bapak berkata padaku. “Jangan terlalu keras sama mama’mu.” Aku seperti biasa mencoba ngeles, dan membela diri. Sampai suatu saat, Bapak meninggal. Tidak ada lagi sosok penengah yang selalu mendinginkan hatiku. Aku selalu menyesali kekerasan hatiku. Kadang aku berpikir, Bapak mungkin sakit karena selalu memikirkan anaknya yang diam tapi selalu memberontak. Bapak meninggal sudah  empat tahun yang lalu. Namun kesedihan yang ditinggalkan karena kepergiannya seperti awet, tak mau beranjak.

Hingga saat ini, aku selalu berselisih pendapat dengan Ibuku. Meskipun begitu, tidak merubah betapa  penting perannya dalam keluarga. Tanpa ibu, keluarga menjadi sepi dan kurang lengkap. Beberapa orang berkata “Lebih baik ditinggalkan Bapak, daripada ditinggalkan Ibu”. Benarkah. Kehilangan Bapak, adalah kehilangan terbesar dalam hidupku. Namun, aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa hidup tanpa Ibu.  Ibu tidak bisa tergantikan, karena doanya lah yang mampu memberikan keselamatan dan kesuksesan dalam setiap hal yang kita usahakan. Aku belum bisa memberikan apapun baginya. Mungkin karena aku tak pernah mencoba mencari tahu dan memahami apa yang dia inginkan. Hanya waktu dan doa yang bisa kuberikan kepadamu. Sekarang, atau nanti. 





Rabu, 19 Juni 2013

HIV dan kekuatan Kelompok Dukungan Sebaya





Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Entah siapa orang yang pertama menemukan ide untuk kelompok ini. Namun yang jelas telah memberikan banyak manfaat bagi orang yang hidup dengan HIV. Saya cenderung lebih suka menyebut ODHA dengan teman-teman Positif. Positif maknanya banyak. Positif berkarya, positif dalam berpikir, meski juga bisa positif dalam beberapa penyakit, termasuk HIV.  Kemarin, saya mencoba mempertemukan teman-teman Positif melalui penguatan kelompok. Meski saya harus akui, luar biasa kerja keras LARAS (Lembaga tempat saya bekerja) untuk mengundang dan meyakinkan setiap teman-teman Positif untuk datang dan berbagi cerita. LARAS mendampingi sekitar 35 orang dengan HIV di Bontang, 14 diantaranya adalah ibu rumah tangga dan suaminya sedangkan 21 di antaranya adalah wanita pekerja seks. Meski akhirnya yang datang pada pertemuan hanya sekitar 10 orang saja, namun semua teman-teman yang hadir amat antusias berkenalan.

Seperti biasa, saya mencoba membuka pertemuan dengan memperkenalkan beberapa anggota yang baru bergabung di kelompok. Ada dua orang anggota baru yang menarik perhatian saya, yaitu seorang ibu rumah tangga berumur sekitar 50 tahun (ND), dan seorang ayah muda yang membawa anaknya (AR). Dua-duanya punya kisah yang cukup menarik. Yang ibu rumah tangga mengaku harus datang ke pertemuan KDS secara diam-diam. Dia berkali-kali dilarang oleh suaminya untuk mengikuti pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh KDS. Namun, kali ini ia mengaku mengikuti pertemuan tersebut tanpa seijin suaminya. Yang lainnya adalah seorang ayah berumur sekitar 35 tahun, dia membawa putranya yang berumur sekitar 3 tahun. Ia menjelaskan baru pertama mengikuti pertemuan KDS tersebut, ia ingin mengajak istrinya namun baru saja melahirkan anak kedua. Dia bercerita tentang istrinya yang tidak terinfeksi HIV, sehingga ia tak perlu khawatir anak-anaknya terinfeksi. Meski masih ada kekhawatiran terdengar dari nada bicaranya. Meski pun begitu, senang melihat mereka begitu antusias bergabung di kelompok, apalagi semuanya amat sangat sehat karena menjaga pola hidup mereka.

Dua di antara mereka adalah wanita pekerja seks. Mereka harus tetap bekerja di lokalisasi demi kehidupan anak-anak mereka di kampung halaman.  Sebut saja namanya DN (30). DN mengetahui status HIV nya sejak 2009 dari Screening Test yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Bontang. Ia mengatakan amat menyesal bekerja di lokalisasi, ia teringat anaknya yang sedang bersekolah. Putranya kelas 3 SD sekarang, dan jika ia sakit siapa yang akan mengurus anaknya. Hampir putus asa, ia menolak untuk mengikuti terapi yang disarankan. Ia menolak minum pil seumur hidupnya. Lama sekali, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti terapi. Saat bertemu di pertemuan KDS kemari, raut wajahnya sudah lebih damai, tidak terlihat ketakutan lagi, ada optimisme disana. Ia merasa tidak sendirian lagi. Hidup akan ringan jika kita punya kawan senasib. 

Hidup dengan HIV bukanlah pilihan. Ia menjadi ujian kehidupan yang harus dilewati anak manusia. Berada di tengah-tengah hidup mereka seperti sebuah anugrah. Mengeluh bukan hal yang mampu lagi kita lakukan. Malu sekali rasanya jika sampai didengar oleh mereka. Berharap kelompok ini terus memberikan kekuatan bagi orang-orang di dalamnya, bukan hanya sekedar simbol kisah kesedihan sekelompok orang yang harus dikasihani.

Bontang, 18 Juni 2013


Minggu, 31 Maret 2013

5 juta kopi hiv per mili dalam tubuh si kecil Teratai





Sejak Maret 2012 saya, melalui Yayasan LARAS (Lembaga Advokasi dan Rehabilitasi Sosial) melakukan pendampingan terhadap keluarga Bapak Nawir (nama samaran). Bapak Nawir (41) adalah seorang buruh perusahaan di Bontang, istrinya Putri (30), juga nama samaran, dia  didiagnosis HIV oleh VCT Klinik RS Pupuk Kaltim. Bapak Nawir justru tidak terinfeksi HIV. Istrinya terinfeksi HIV karena mungkin (masih asumsi) disebabkan transfusi darah pada saat melakukan operasi kista pada tahun 2007.
Saat itu, Putri sedang hamil 6 bulan. Akhirnya pendamping merujuk Putri ke RSUD Bontang karena disana sudah tersedia dokter CST (Care, Support, Treatment). Dokter CST mendiagnosis nyonya Putri sudah berada di tahap AIDS, dimana muncul TB sebagai infeksi oportunistik. Pada umur kehamilan 8 bulan, dokter CST RSUD Bontang memberikan terapi Anti Retrovirus, terapi yang bisa mengontrol replikasi HIV dalam tubuh. RSUD mempersiapkan tim untuk proses kelahiran bagi Putri secara Sectio Sesaria (sesar) untuk mencegah penularan HIV ke janin.
Pada bulan Agustus 2012, tim PPIA (Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) RSUD Bontang berhasil membantu kelahiran bayi bu Putri, seorang bayi perempuan yang amat sehat, tanpa kelainan fisik apapun. Untuk menghindari terjadinya infeksi, dokter memberikan obat Prophylaxis bagi sang bayi selama 2 bulan. Teratai, nama bayi itu (samaran). Teratai adalah bayi yang begitu sehat, LARAS membantu memasok susu formula setiap bulannya karena tidak dianjurkan untuk diberikan ASI. Si kecil Teratai tumbuh sehat, berat badannya naik dan tidak ada keluhan kesehatan sama sekali. Dan keadaan pun cukup terkendali setelahnya. Namun siapa sangka, kami semua ternyata salah.
               
Bayi mereka didiagnosis HIV
Sang ibu harus keluar masuk rumah sakit karena kondisinya yang melemah. LARAS pun membawa sang ibu ke RSUD. Tak bisa dihitung berapa kali Putri harus keluar masuk RSUD Bontang saat itu. Akhirnya setelah berdiskusi dengan suami, LARAS merujuk Putri ke RSUD AWS Samarinda, dimana dokter disana lebih berpengalaman dalam penanganan virus HIV. Syukurlah, pasca konsultasi dengan dokter RSUD AWS, keadaan Putri semakin membaik.
Ujian pun kembali datang. Selang beberapa minggu, setelah sang ibu membaik, sang bayi mengalami keluhan diare, batuk dan kandidiasis oral. Pada bulan Januari, sang bayi dirawat inap ke RS Pupuk Kaltim Bontang. Tiga minggu dirawat di RS PKT, sang bayi tak kunjung membaik, akhirnya LARAS membawa sang bayi ke RS AWS Samarinda. Dokter CST menganjurkan agar sang bayi dites PCR (Polymerase Chain Reaction) HIV. PCR adalah tes untuk mendeteksi jumlah virus HIV dalam per ml darah. Biaya untuk tes PCR cukup mahal bagi kami, yaitu Rp 2.000.000/tes. LARAS mencoba meminta bantuan ke Dinas Kesehatan kota Bontang, namun belum mendapat respon baik. Akhirnya, setelah mendapatkan pasokan dana segar dari Yayasan LARAS, segera dilakukan tes PCR HIV bagi sang bayi.  Butuh waktu 2 minggu sampai akhirnya LARAS dan keluarga bayi mengetahui bahwa dalam darah sang bayi dinyatakan telah terdeteksi HIV. Terdeteksi sekitar 5 juta kopi HIV per mili darah bayi TERATAI.  Tentu saja ini pukulan berat bagi keluarga bayi dan LARAS sebagai pendamping.
Tindakan selanjutnya adalah terapi ARV pediatric. Sebelum diberikan terapi (Anti Retro Viral) ARV, dilakukan dua kali pemeriksaaan fungsi hati dalam kurun waktu selang waktu tiga minggu. Dalam 3 minggu fungsi hatinya melesat drastis dari 200 menjadi 485. Dokter menganjurkan pulang saja ke rumah karena tidak bisa dterapi ARV. Menurut dokter CST (dokter umum), penyebab naiknya karena jumlah virus yang fantastis. Saat ini, Teratai dirawat di rumah tanpa bantuan medis apapun. LARAS bermaksud merujuk sang bayi ke RS Jakarta dimana terdapat dokter spesialis anak yang lebih berpengalaman menangani bayi HIV. Namun, karena terkendala biaya (tidak bisa menggunakan Jaminan Perusahaan dan tidak punya Jaminan kesehatan lain selain JAMKESDA.)

Tulisan ini ditujukan kepada semua pihak agar dapat membantu Teratai mendapatkan perawatan kesehatan yang lebih baik.



Sabtu, 19 Januari 2013

virus GO (Gonorrhea) di kelamin gadis kecil itu (RI)



    Saya marah mendengar berita tentang seorang gadis kecil yang mengalami kekerasan seksual dan akhirnya meninggal dunia. Dunia ini berkembang menjadi tempat yang menakutkan bagi anak-anak. Dulu, ketika kita harus sering mengingatkan anak-anak untuk berhati-hati bermain di tepi jalan, hati-hati jajan sembarangan, hati-hati menyebrang jalan, saatnya untuk mengubah pandangan kita. Orang dewasa menjadi monster yang menakutkan bagi anak-anak. Mereka tak lagi bisa bermain bebas di lapangan atau halaman rumah. 

     Kerusakan moral tumbuh pesat dan mengincar tubuh dan jiwa rapuh anak-anak. Meski saya sendiri belum merasakan bagaimana merawat anak, tapi saya tahu persis bahwa anak-anak adalah hal terbesar yang mengisi pikiran orang tua. Ibu atau ayah tak akan bisa tidur nyenyak hingga mengetahui anaknya baik-baik saja. RI (nama singkatan), begitu media biasa menyebut nama korban, adalah gadis kecil berumur 11 tahun yang menjadi korban kerusakan moral dan mental dari ayahnya. Meski status nya masih tersangka, tapi saksi-saksi menyebutkan bahwa ayahnya adalah orang yang telah memperkosanya. Ayah kandung, bukan ayah tiri. Darah dagingnya sendiri. Entah kerusakan moral atau mental atau mungkin kerusakan psikis. Bisa juga disebut psikopat. Entahlah. 

     Yang menyedihkan lagi, di kelamin si kecil terdapat penyakit GO atau Gonorrhea, biasa disebut kencing nanah. Sungguh brutal dan biadab. Tak ada kata yang mampu melukiskan perilaku sang ayah. Bahkan dia tak layak disebut “ayah”. Ayah adalah orang tua yang seharusnya menjaga dan memastikan putri kecilnya baik-baik saja. Media juga memberitakan bahwa pelakunya berjumlah dua orang, salah satu tersangkanya adalah guru. Begitulah wajah moral pendidik. Bukan bermaksud mengeneralisasi, tapi apakah pendidikan kita sudah begitu jauh dari memanusiakan manusia.  Pemerintah sudah saatnya melakukan seleksi ketat bagi penerimaan guru di semua jenjang pendidikan. Ayolah,  masyarakat sudah lelah dengan berita semacam ini. Saatnya anak-anak kita dilindungi dengan baik.

Karena mereka adalah kekuatan kita. 
Karena mereka adalah masa depan bangsa kita. 
Karena mereka dapat mengubah dunia menjadi lebih baik

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More