#1

Drupadi

#2

Harga Diri

#3

sex workers can end HIV/AIDS.

#4

Silent Body

#5

Everyone's always wearing a mask

Kamis, 21 Juli 2016

Karena Chris Gardner tak bertemu Victor Navorsky

Semalam saya putuskan untuk menonton dua film lama ini. Saya tidak akan berbicara tentang aktor ganteng pemeran film ini. Kedua film ini memiliki beberapa kesamaan, namun juga perbedaan ideologi yang mencolok.


 Dalam film Pursuit of Happiness, Chris Gardner, seorang wiraswasta yang baru saja memulai bisnis kecil menjual mesin kedokteran. Bisnisnya mulai terpengaruh oleh krisis ekonomi yang dialami Amerika. Chris bangkrut secara pelan karena daya beli masyarakat yang semakin menurun karena krisis. Tidak tahan dengan kondisi perekonomian yang semakin sulit, istrinya meninggalkan Chris dan anaknya. Chris menjual mesin scan-nya dari rumah sakit ke rumah sakit. Di Amerika, kamu tak bisa mempercayai siapa pun saat itu. Orang jujur pun bisa menjadi kriminal karena sulitnya bertahan hidup.Salah satu solusi yang muncul saat itu adalah bekerja di Dean Witter, salah satu perusahaan pialang yang ternama. Untuk bekerja disana, ia harus menjalani ujian tertulis dan magang sebulan tanpa digaji selama berbulan-bulan. Tagihan sewa yang menunggak membuat Chris dan anaknya harus diusir dari motel. Saat-saat dimana Chris dan anaknya tidur di toilet umum stasiun kereta bawah tanah, sedikit menguras emosi. 

Film ini menggambarkan bagaimana sistem yang ada membuat manusia teralienasi dari lingkungan sosialnya. Tak satu pun teman dan keluarga yang membantu di saat saat sulit. Uang menjadi alat pengikat  kuat relasi sosial saat itu. Tak ada tempat tidur yang hangat dari keluarga. Hukum rimba berlaku. Tak kuat berkompetisi, maka kamu akan habis.  Manusia yang unggul adalah yang "berlari". Berlari ke depan, tak peduli apa yang terjadi di sekitarmu. "Berlari" menghantarkan Chris pada tujuannya. Ia lulus dan diterima bekerja menjadi salah satu pialang Dean Witter. Kompensasi yang cukup adil menurut sistem kala itu. Film ini memenuhi hasrat American Dream, Life, Liberty and Pursuit of Happiness.



Film The terminal menawarkan sesuatu yang berbeda. Film ini bercerita tentang seorang traveler berkebangsaan Krakozia, Victor Navorski, yang terjebak di bandara udara terbesar di AS, karena kudeta yang terjadi di negaranya. Secara yuridis, AS tertutup bagi negara yang situasi politiknya tidak pasti. Ia pun tak bisa pulang ke negaranya karena kudeta masih bergejolak. Viktor Navorski, diperankan oleh aktor watak, Tom Hanks, terjebak  selama 9 bulan. Ia harus tidur di ruang transit internasional, dimana yang hanya bisa dilakukan disana adalah "shopping". Selama terjebak  di bandara, ia membangun relasi sosial demi bertahan hidup. Ia membantu menyelesaikan masalah cinta petugas kebersihan yang menjadi temannya, mendengarkan keluh kesah imigran gelap lansia dari India dan membantu penumpang meloloskan obat di BPOM bandara yang begitu ketat. Victor digambarkan memiliki rasa empati yang hampir terkikis karena di masyarakat. Bandara diibaratkan sebuah negara yang memiliki segenap aturan yang mengontrol dengan ketat perilaku manusia yang hidup di dalamnya. 


Tidak peduli apakah anda seorang pendatang atau warga negara, anda harus patuh dan tunduk pada supremasi hukum yang berlaku di negara tersebut. Begitu pula yang dialami seorang penumpang yang ditangkap karena memaksa membawa obat-obatan masuk ke petugas keamanan bandara. Tak peduli apakah obat tersebut digunakan si penumpang untuk ayahnya yang sedang sakit parah, petugas bandara tetap tidak mengijinkan. Victor diminta menjadi penerjemah. Awalnya, Victor menerjemahkan bahwa obat obatan itu untuk ayah si penumpang. Kepala bandara menjelaskan bahwa seluruh obat-obatan yang masuk di Amerika Serikat wajib disita, tidak diperkenankan dibawa. Tak disangka, si penumpang terselematkan karena bantuan Victor. Ia menerjemahkan obat tersebut tidak dibawa untuk ayahnya, tapi untuk kambingnya. Tentu saja, aturan di Amerika Serikat, memperbolehkan obat-obatan masuk untuk binatang.


Kemampuan Victor membantu menyelesaikan masalah orang lain dianggap sebagai sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial. Kapitalisme mendegradasi sifat komunal dan mengunggulkan individualisme, bukan hal yang baru. Kebaikan hatinya mulai mengganggu sistem yang cenderung teratur. Kemampuannya bertahan hidup dengan mengandalkan dirinya dalam berrelasi menampar muka sang penjaga sistem. Kesepakatan mulai dibuat agar sosialis ini keluar dari sistem dan tak lagi menjadi duri dalam daging. Dengan menggunakan kekerasan dan tipu daya, sistem hampir saja berhasil mengusirnya keluar. Victor diancam akan menekan beberapa temannya kecuali dia kembali ke Krakozia. Ia pun setuju. Namun, sistem sosial yang ia bangun selama sembilan bulan di tempat itu telah mulai mengakar dan mendukung keberadaannya. Victor didukung oleh teman teman yang terdiri dari petugas sekuriti, imigran gelap, penjaga toko dan pekerja bangunan. Ia berhasil keluar bandara dan untuk pertama kalinya. Ia pun memasuki Amerika Serikat. 


Kedua film diatas menggambarkan Chris yang jauh dari lingkungan sosialnya. Tak ada saudara, teman dekat maupun orang baik yang membantu. Ia hidup terasing. Sedangkan Victor, ia berhasil membangun relasi yang baik. Ia mampu bekerja sama dengan baik. Ia adalah orang asing yang tak terasing.
Sutradara the Terminal, Steven Spielberg, berhasil menggambarkan pentingnya manusia hidup bekerja sama, bukan berkompetisi. Di akhir cerita, Spielberg memperkuat tokoh Victor yang sosialis. Kerja kerasnya memasuki Amerika Serikat ternyata demi sebuah tanda tangan dari pemusik idola ayahnya. The terminal menghantarkan pesan sederhana pada kita, be happy to pursuit. Not pursuit to be happy.


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More