#1

Drupadi

#2

Harga Diri

#3

sex workers can end HIV/AIDS.

#4

Silent Body

#5

Everyone's always wearing a mask

Senin, 15 Juni 2015

Kekerasan yang mengeras





"Suatu saat saya pernah bahagia, jatuh cinta, merasa menemukan pasangan yang tepat dalam hidup. Pasangan dimana saya bisa menghabiskan masa tua saya. Dia datang dalam kehidupan saya secara tiba tiba. Membawa harapan dan mata penuh cinta. Belum lama berselang, dia mengunjungi saya , menyebrangi pulau dengan niat begitu mulia. Ingin membantu saya bekerja. Saya trenyuh, terharu, sekaligus bahagia. Mungkin Tuhan sudah menjawab doa doa saya.

Setelah mengenalnya 2 bulan akhirnya kami bertemu. Saya tidak pernah berharap apapun kecuali kehadirannya. Saya tidak berharap lebih, sedikitpun. Rasa syukur yang selalu saya panjatkan, karena saya pikir Tuhan akhirnya mengirim seseorang untuk menemani. Tapi tidak perlu waktu lama, untuk mengetahui bahwa saya salah. 

Teringat pertama kali bertengkar dengannya, dia membanting gitar kesayangannya, hingga hancur berkeping keping. Ia mulai mengancam saya dengan pisau, mencekik dan mengintimidasi saya. Kemudian,tiba tiba dia berangsur membaik pada saya. Saya berharap dia akan meminta maaf suatu saat . Tapi itu tidak pernah terjadi.  Dia diam dan selalu menghindari untuk membahasnya. Hingga kekerasan itu terjadi lagi. Saya diam, dia agresif. Saya agresif, dia lebih agresif lagi." Pengakuan korban kekerasan (anonim)


Posisi perempuan selalu subordinat. Karena itulah kadang perempuan memutuskan menjadi pasif dalam setiap pertengkaran. Menjadi korban sukarela dalam setiap kemarahan laki laki. Sungguh itu adalah kesalahan yang fatal. Tidak baik menyakiti diri sendiri dengan membiarkan dirimu diperlakukan semena mena. Kalian pikir itu ungkapan yang tepat bagi seseorang yang kalian cintai? tentu tidak. . . sebaliknya, itu adalah awal dari penindasan dan kekerasan yang tak akan pernah berhenti. 

Saya melihat beberapa hubungan pernikahan yang kelihatannya baik baik saja,padahal saya tahu bahwa itu hanya kamuflase. Akankah kita mengorbankan hidup kita dengan menikahi laki-laki yang membuat kita selalu berada dalam ketakutan? Pertimbangkan lagi teman. Awalnya, kita seperti tak mau melepaskannya, kita berpikir bisa mengubahnya menjadi orang yang lebih baik. Padahal itu cuma ilusi. Karakter orang tak akan pernah bisa berubah. Jangankan kita yang baru mengenal setahun, ibunya sendiri belum tentu bisa mengubah anaknya dengan segala karakter yang dia punya. 

Ketika kita mencintai seseorang dengan tulus, nothing is really matter.  Kadang kita tahu bahwa kita sedang menjebak diri ke dalam kandang macan, sambil berpikir "saya menyayangi dia, meski saya tau ini salah". Sebenarnya tahu apa kita tentang cinta? toh, kita tak mampu mencintai diri kita sendiri. Kita membiarkan diri untuk disakiti berkali kali. itu bukan cinta, hanya hasrat yang bersembunyi atas nama cinta. Kita baru sadar saat kita sudah di dasar jurang. Lalu apa yang harus dilakukan? Berhenti  mencintai? Tidak. Biarkan saja perasaan itu tetap di dalam dada, menjadi hal baik yang kita miliki. Namun, jangan biarkan itu mengendalikan akal sehat kita. It takes great courage not to shut down our heart or not to keep  it shut down- when we're being hurted. Kita ini makhluk yang berakal budi. Kita bukan robot. Meski kita telah disakiti, kita diajarkan dan diberi anugerah dari Tuhan untuk memaafkan. Maafkanlah. Let it go. Dan hatimu akan tenang dan damai.

Meninggalkan seseorang yang tidak pantas bukanlah dosa, itu seperti bersedekah pada dirimu sendiri. Saatnya memberi makan jiwa dan batinmu. Tak perlu memikirkan masa lalu. Karena sekali lagi, tak ada yang bisa menggagalkan orang yang keras kepala. Jadilah orang yang egois, sesekali. Saatnya memikirkan diri sendiri. Saatnya mencintai hidupmu.

"If you're brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello"

Paulo Coehlo

Kamis, 08 Januari 2015

Mengurai simpul kekerasan seksual; Pekerja seks anak, siapa yang melindungi mereka?


Lomba Blog Ikatan Perempuan Positif Indonesia, IPPI - 2014


Pada tahun 2013, terdapat sekitar 31% dari pekerja seks berusia 14 – 24 tahun.  Artinya bahwa dari 2.344 wanita pekerja seks di Kalimantan Timur, terdapat 740 di antaranya adalah anak-anak dan usia remaja, sebagian diantaranya terinfeksi HIV. (Sumber: Yayasan LARAS Kaltim)

Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki pendapatan terbesar dari segi pertambangan. Sekitar 10% dari tenaga kerja bekerja di sector pertambangan baik batu bara maupun minyak. (Sumber: http://kaltim.bps.go.id). Pendapatan daerah Kaltim per tahun selalu meningkat, pada tahun 2012 mencapai $US 985 juta atau Rp 12,31 trilyun. Namun dengan semakin majunya industri pertambangan, semakin meningkat pula dampak sosial ekonomi yang tumbuh di masyarakat, salah satunya adalah perdagangan anak ke dunia prostitusi.



Perdagangan anak dan kekerasan seks

Ketika Dinas Sosial melakukan razia identitas di lokalisasi Bontang, sebagian dari mereka takut dan berbohong kepada petugas tentang usia mereka. Ada berbagai penyebab anak bekerja di pelacuran, di antaranya adalah ada yang karena inisiatif sendiri, ajakan teman/keluarga, atau karena korban perdagangan anak. Pekerja seks anak terbanyak di Kaltim berasal perdagangan anak dari daerah terpencil di Jawa dan Sulawesi. Modusnya, anak-anak tersebut diiming-imingi Blackberry dan pekerjaan dengan gaji besar.

Anak dari keluarga yang rapuh secara ekonomi akan mudah terpengaruh oleh mafia perdagangan anak. Ketika menyadari mereka hanya menjadi korban penipuan, para mucikari sudah membebani korban dengan hutang besar. Hutang berasal dari biaya transportasi dan akomodasi dari perjalanan mereka saat berangkat dari kampung mereka ke Kaltim. Hal tersebut dialami oleh Ajeng, seorang pekerja seks anak di Kutai Kartanegara. Ia terpaksa menjual diri sejak berumur 16 tahun, karena diajak teman yang mengaku telah berpendapatan besar. Ajeng meninggalkan sekolah dan orang tuanya di Jawa demi tawaran tersebut. Ajeng berparas cantik, ia populer di kompleks pelacuran tersebut. Awalnya, ia merasa menjadi korban penipuan, tapi tidak tahu harus mengadu kemana. Ia dipaksa mucikari “melayani” pelanggan di tempat-tempat karaoke. Tidak hanya sekedar menemani minum tetapi juga sampai ke tempat tidur. Jika menolak, dia dikurung di kamar sempit di kompleks pelacuran itu. Sampai akhirnya ia pasrah dan bersedia melacur demi sesuap nasi. Ia depresi dan lari ke alkohol sampai akhirnya ketergantungan narkoba.  Pada tahun 2009, ia divonis terinfeksi HIV melalui VCT yang diselenggarakan NGO lokal. Cerita  lainnya adalah tentang pekerja seks anak di Prakla, Bontang, anak ini bernama Ambar (17), ia terinfeksi HIV, hamil dan menularkan HIV kepada bayinya saat persalinan. Pengetahuan yang tidak memadai tentang bagaimana merawat bayi dengan HIV, membuat bayinya meninggal di kamar sempit berukuran 2x2 meter di lokalisasi.

Ajeng dan Ambar adalah satu dari sekian banyak korban perdagangan anak yang terinfeksi HIV.  Kasus yang terjadi pada mereka adalah gambaran kecil dari simpul kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. Pertanyaan besarnya adalah apakah pekerja seks di bawah umur termasuk anak-anak yang wajib dilindungi negara? Kalau iya, mengapa seolah mereka teralienasi dari kebijakan pemerintah.



Mengurai simpul kekerasan seks pada anak

Masih teringat saat tahun 2013, saya menanyakan tentang perlindungan terhadap pekerja seks kepada salah satu pejabat di Dinas Sosial Bontang, pejabat ini menjelaskan seperti ini “Pekerja seks bukanlah pekerjaan yang diakui negara dan pemerintah Bontang tidak pernah mengakui keberadaan mereka”. Mereka mengakui tentang adanya program Dinsos bagi Wanita Rawan Sosial tapi tidak untuk Pekerja Seks. Mungkinkah Pemerintah hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tidak mencoba menyelesaikan akar permasalahan yang ada?

Jumlah pekerja seks anak akan terus meningkat jika pemerintah terus menjadikan mereka sebagai objek bukan subjek dari penyelesaian tersebut. Secara De Jure, pemerintah Indonesia memang tidak pernah melegalkan pelacuran. Tidak ada payung hukum yang melindungi pemenuhan hak pekerja seks dan mereka juga tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Padahal terdapat anak-anak yang sudah terlanjur berada di lokalisasi dan tetap harus dilindungi oleh negara. Implementasi Undang Undang Perlindungan Anak no.23 Tahun 2002 masih jauh dari harapan karena hukum yang terkotak-kotak antara pelacuran dan perlindungan anak. Oleh karena itu, pemerintah wajib melindungi anak-anak yang bekerja di lokalisasi tanpa terkecuali.

Pertama, langkah tersebut dapat dimulai dengan meninjau kebijakan perlindungan anak, lalu merumuskan kebijakan yang komprehensif tanpa pandang bulu berdasarkan amanah UU no.23 Tahun 20013. Setiap pelaksana kebijakan di tingkat SKPD harus memahami bahwa konsep “anak” adalah termasuk anak-anak yang berada di lokalisasi. Ancaman kriminalisasi terhadap mereka harus dihentikan. Pemerintah harus membawa mereka ke rumah perlindungan yang khusus menangani anak dengan trauma khusus (seks).

Kedua, harus ada itikad baik dari LSM lokal untuk mengidentifikasi, melindungi dan menyelamatkan anak-anak yang berada di lokalisasi. LSM adalah ujung tombak dari perlindungan anak di lokalisasi sebab mereka memiliki program riil yang bersentuhan dengan pekerja seks, mucikari dan pemangku kepentingan di lokalisasi. LSM sebaiknya lebih kritis melihat anak-anak bekerja di lokalisasi. Jangan sampai LSM lebih mengamankan program mereka dibanding harus mengambil resiko memiliki konflik kepentingan dengan mucikari dan koordinator lokalisasi.  Hal ini harus dihentikan, sebab tidak akan bisa mengurai simpul permasalahan yang ada. Pandangan ini dapat menggadaikan keselamatan anak-anak di lokalisasi ditambah lagi akan menambah jumlah kasus HIV di lokalisasi.

Alienasi pekerja seks anak dari kasus kekerasan seksual adalah kecenderungan yang terjadi di Kalimantan Timur saat ini. Ini terlihat dari kebijakan SKPD terkait dan LSM lokal yang enggan mengurusi kasus perdagangan anak ke lokalisasi. Memang butuh tekad dan keberanian dari setiap pihak untuk menangani dan menuntaskan kasus kekerasan pada anak. Semoga setiap pekerja seks anak di tempat-tempat prostitusi dapat terpenuhi haknya dan keluar dari simpul kekerasan seksual.




 "The test of the morality of society is what it's done for its children"



  Tulisan ini diajukan dalam "Lomba Blog Ikatan Perempuan Positif Indonesia, IPPI - 2014" dalam rangka 

   16 hari anti kekerasan terhadap perempuan

 





























Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More