#1

Drupadi

#2

Harga Diri

#3

sex workers can end HIV/AIDS.

#4

Silent Body

#5

Everyone's always wearing a mask

Minggu, 06 November 2011

Mereka yang dilahirkan di lokalisasi



"The test of the morality of society is what it's done for its children"


Sebagian besar anak-anak, baik anak dari wanita pekerja seks (WPS) maupun anak-anak dari penduduk yang tinggal di lingkungan lokalisasi Bayur, Samarinda, provinsi Kaltim, hidup dan berkembang di lingkungan yang tidak kondusif. Ada peraturan tidak tertulis, bahwa anak-anak tidak diperbolehkan tinggal di lingkungan lokalisasi. Akan tetapi masih banyak dari mereka yang harus tinggal di pemukiman dalam lokalisasi. Hal itu disadari oleh pengurus lokalisasi Bayur, samarinda, pak Acil, bahwa sebenarnya tidak layak untuk anak-anak tersebut berada di lingkungan tersebut. Beberapa bayi dari WPS yang lahir biasanya diadopsi oleh pengurus wisma, bahkan ada beberapa warga sekitar yang meminta bayi WPS agar dapat mereka adopsi. WPS yang ingin tetap memelihara anaknya akan membawa anak mereka ke tempat penitipan anak.
Permasalahan yang timbul di lingkungan lokalisasi salah satunya adalah adanya pengaruh terhadap perkembangan psikologis anak, terutama bagi anak-anak yang memasuki umur 7-12 tahun. Pada umur-umur tersebut tingkat kemampuan anak dalam meniru sangatlah tinggi. Pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku anak sangat tinggi, mereka akan terpengaruh dengan apa yang mereka lihat. Anak-anak akan belajar dari lingkungan yang paling dekat, yaitu orang tua. Anak-anak yang tinggal di lokalisasi akan belajar dari orangtua mereka tentang banyak hal, baik itu hal yang positif maupun negatif. Tetapi hanya sedikit yang melakukan hal tersebut karena biaya penitipan yang mahal. Keinginan merawat dan membesarkan anak yang kuat namun tidak mampu membiayai penitipan anak akhirnya memaksa teman-teman WPS memutuskan untuk memelihara dan membesarkan mereka di tempat kerja mereka, di lokalisasi.

Tidak punya ayah legal
Sebagian besar dari anak-anak yang lahir di lokalisasi, ibu mereka tidak membuat akte kelahiran untuk anak mereka. Alasan utamanya adalah karena mereka tidak memiliki bapak yang legal di mata negara. Bapak biologis mereka adalah pelanggan atau biasa disebut gendakan. Gendakan adalah pacar dari wanita pekerja seks di lokalisasi. Gendakan diciri khaskan sebagai laki-laki yang tidak bekerja namun hidup bersama dengan wanita pekerja seks di lokalisasi ibarat suami istri. Gendakan sering disebut parasit karena hanya mengandalkan uang dari pacar mereka , bukannya mencari  nafkah demi mengurangi beban hidup pekerja seks. Alasan lainnya pekerja seks tidak membuat akte bagi anak mereka adalah alasan finansial. Alasan inibiasanya menjadi masalah utama mereka dalam pengurusan akte kelahiran. Mereka harus mengeluarkan biaya besar untuk membuat akte khusus di catatan sipil setempat. Tidak banyak dari pekerja seks yang tidak mengetahui bahwa meskipun tidak memiliki ayah, anak mereka tetap bisa membuat akte khusus.

 Lalu bagaimana mereka akan sekolah?
Sebenarnya, bagi anak-anak yang di luar nikah telah ada akte kelahiran khusus yang dibuat. Akan tetapi, stereotype dan stigma negative masih sangat melekat dalam akte.
Karena kondisi status Ibu si Kecil tidak memiliki Akte Pernikahan / Surat Kawin, maka di Akte Kelahiran si Kecil akan tertulis …” anak luar nikah / kawin”. Padahal, ketika lahir, seorang anak harus mendapatkan penerimaan baik secara sosial maupun institusional. Sudah saatnya masyarakat kita membuka perspektif dan lebih berpikiran luas melihat permasalahan sosial. Masyarakat harus secara lapang dada terbuka memberikan uluran tangan bagi anak-anak tersebut. Saatnya kita mendukung hal yang telah dilakukan oleh ibu mereka, yaitu dengan tetap mempertahankan janin dan memutuskan untuk melahirkan anak mereka ke dunia bukannya dengan melakukan aborsi.

Saatnya memulai kehidupan
yang lebih bermoral
di lokalisasi.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More