"Suatu saat saya pernah bahagia, jatuh cinta, merasa menemukan pasangan yang tepat dalam hidup. Pasangan dimana saya bisa menghabiskan masa tua saya. Dia datang dalam kehidupan saya secara tiba tiba. Membawa harapan dan mata penuh cinta. Belum lama berselang, dia mengunjungi saya , menyebrangi pulau dengan niat begitu mulia. Ingin membantu saya bekerja. Saya trenyuh, terharu, sekaligus bahagia. Mungkin Tuhan sudah menjawab doa doa saya.
Setelah mengenalnya 2 bulan akhirnya kami bertemu. Saya tidak
pernah berharap apapun kecuali kehadirannya. Saya tidak berharap lebih,
sedikitpun. Rasa syukur yang selalu saya panjatkan, karena saya pikir Tuhan
akhirnya mengirim seseorang untuk menemani. Tapi tidak perlu waktu lama,
untuk mengetahui bahwa saya salah.
Teringat pertama kali bertengkar dengannya, dia membanting gitar kesayangannya, hingga hancur berkeping keping. Ia mulai mengancam saya dengan pisau, mencekik dan mengintimidasi saya. Kemudian,tiba tiba dia berangsur membaik pada saya. Saya berharap dia akan meminta maaf suatu saat . Tapi itu tidak pernah terjadi. Dia diam dan selalu menghindari untuk membahasnya. Hingga kekerasan itu terjadi lagi. Saya diam, dia agresif. Saya agresif, dia lebih agresif lagi." Pengakuan korban kekerasan (anonim)
Posisi perempuan selalu subordinat. Karena itulah kadang perempuan
memutuskan menjadi pasif dalam setiap pertengkaran. Menjadi korban sukarela
dalam setiap kemarahan laki laki. Sungguh itu adalah kesalahan yang fatal.
Tidak baik menyakiti diri sendiri dengan membiarkan dirimu diperlakukan semena
mena. Kalian pikir itu ungkapan yang tepat bagi seseorang yang kalian cintai?
tentu tidak. . . sebaliknya, itu adalah awal dari penindasan dan kekerasan yang
tak akan pernah berhenti.
Saya melihat beberapa hubungan pernikahan yang kelihatannya baik
baik saja,padahal saya tahu bahwa itu hanya kamuflase. Akankah kita
mengorbankan hidup kita dengan menikahi laki-laki yang membuat kita selalu
berada dalam ketakutan? Pertimbangkan lagi teman. Awalnya, kita seperti tak mau
melepaskannya, kita berpikir bisa mengubahnya menjadi orang yang lebih baik.
Padahal itu cuma ilusi. Karakter orang tak akan pernah bisa berubah. Jangankan
kita yang baru mengenal setahun, ibunya sendiri belum tentu bisa mengubah
anaknya dengan segala karakter yang dia punya.
Ketika kita mencintai seseorang dengan tulus, nothing is really matter. Kadang
kita tahu bahwa kita sedang menjebak diri ke dalam kandang macan, sambil
berpikir "saya menyayangi dia, meski saya tau ini salah". Sebenarnya
tahu apa kita tentang cinta? toh, kita tak mampu mencintai diri kita sendiri.
Kita membiarkan diri untuk disakiti berkali kali. itu bukan cinta, hanya hasrat
yang bersembunyi atas nama cinta. Kita baru sadar saat kita sudah di dasar
jurang. Lalu apa yang harus dilakukan? Berhenti mencintai? Tidak. Biarkan
saja perasaan itu tetap di dalam dada, menjadi hal baik yang kita miliki.
Namun, jangan biarkan itu mengendalikan akal sehat kita. It takes great courage not to shut
down our heart or not to keep it shut down- when we're being hurted. Kita ini makhluk yang berakal
budi. Kita bukan robot. Meski kita telah disakiti, kita diajarkan dan diberi anugerah dari Tuhan untuk memaafkan.
Maafkanlah. Let it go. Dan hatimu akan tenang dan damai.
Meninggalkan seseorang yang tidak pantas bukanlah dosa, itu
seperti bersedekah pada dirimu sendiri. Saatnya memberi makan jiwa dan batinmu.
Tak perlu memikirkan masa lalu. Karena sekali lagi, tak ada yang bisa
menggagalkan orang yang keras kepala. Jadilah orang yang egois, sesekali.
Saatnya memikirkan diri sendiri. Saatnya mencintai hidupmu.
"If you're brave enough to say goodbye, life will reward
you with a new hello"
Paulo Coehlo
0 komentar:
Posting Komentar