Senin, 15 Juni 2015

Kekerasan yang mengeras





"Suatu saat saya pernah bahagia, jatuh cinta, merasa menemukan pasangan yang tepat dalam hidup. Pasangan dimana saya bisa menghabiskan masa tua saya. Dia datang dalam kehidupan saya secara tiba tiba. Membawa harapan dan mata penuh cinta. Belum lama berselang, dia mengunjungi saya , menyebrangi pulau dengan niat begitu mulia. Ingin membantu saya bekerja. Saya trenyuh, terharu, sekaligus bahagia. Mungkin Tuhan sudah menjawab doa doa saya.

Setelah mengenalnya 2 bulan akhirnya kami bertemu. Saya tidak pernah berharap apapun kecuali kehadirannya. Saya tidak berharap lebih, sedikitpun. Rasa syukur yang selalu saya panjatkan, karena saya pikir Tuhan akhirnya mengirim seseorang untuk menemani. Tapi tidak perlu waktu lama, untuk mengetahui bahwa saya salah. 

Teringat pertama kali bertengkar dengannya, dia membanting gitar kesayangannya, hingga hancur berkeping keping. Ia mulai mengancam saya dengan pisau, mencekik dan mengintimidasi saya. Kemudian,tiba tiba dia berangsur membaik pada saya. Saya berharap dia akan meminta maaf suatu saat . Tapi itu tidak pernah terjadi.  Dia diam dan selalu menghindari untuk membahasnya. Hingga kekerasan itu terjadi lagi. Saya diam, dia agresif. Saya agresif, dia lebih agresif lagi." Pengakuan korban kekerasan (anonim)


Posisi perempuan selalu subordinat. Karena itulah kadang perempuan memutuskan menjadi pasif dalam setiap pertengkaran. Menjadi korban sukarela dalam setiap kemarahan laki laki. Sungguh itu adalah kesalahan yang fatal. Tidak baik menyakiti diri sendiri dengan membiarkan dirimu diperlakukan semena mena. Kalian pikir itu ungkapan yang tepat bagi seseorang yang kalian cintai? tentu tidak. . . sebaliknya, itu adalah awal dari penindasan dan kekerasan yang tak akan pernah berhenti. 

Saya melihat beberapa hubungan pernikahan yang kelihatannya baik baik saja,padahal saya tahu bahwa itu hanya kamuflase. Akankah kita mengorbankan hidup kita dengan menikahi laki-laki yang membuat kita selalu berada dalam ketakutan? Pertimbangkan lagi teman. Awalnya, kita seperti tak mau melepaskannya, kita berpikir bisa mengubahnya menjadi orang yang lebih baik. Padahal itu cuma ilusi. Karakter orang tak akan pernah bisa berubah. Jangankan kita yang baru mengenal setahun, ibunya sendiri belum tentu bisa mengubah anaknya dengan segala karakter yang dia punya. 

Ketika kita mencintai seseorang dengan tulus, nothing is really matter.  Kadang kita tahu bahwa kita sedang menjebak diri ke dalam kandang macan, sambil berpikir "saya menyayangi dia, meski saya tau ini salah". Sebenarnya tahu apa kita tentang cinta? toh, kita tak mampu mencintai diri kita sendiri. Kita membiarkan diri untuk disakiti berkali kali. itu bukan cinta, hanya hasrat yang bersembunyi atas nama cinta. Kita baru sadar saat kita sudah di dasar jurang. Lalu apa yang harus dilakukan? Berhenti  mencintai? Tidak. Biarkan saja perasaan itu tetap di dalam dada, menjadi hal baik yang kita miliki. Namun, jangan biarkan itu mengendalikan akal sehat kita. It takes great courage not to shut down our heart or not to keep  it shut down- when we're being hurted. Kita ini makhluk yang berakal budi. Kita bukan robot. Meski kita telah disakiti, kita diajarkan dan diberi anugerah dari Tuhan untuk memaafkan. Maafkanlah. Let it go. Dan hatimu akan tenang dan damai.

Meninggalkan seseorang yang tidak pantas bukanlah dosa, itu seperti bersedekah pada dirimu sendiri. Saatnya memberi makan jiwa dan batinmu. Tak perlu memikirkan masa lalu. Karena sekali lagi, tak ada yang bisa menggagalkan orang yang keras kepala. Jadilah orang yang egois, sesekali. Saatnya memikirkan diri sendiri. Saatnya mencintai hidupmu.

"If you're brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello"

Paulo Coehlo

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More