Lomba Blog Ikatan Perempuan Positif Indonesia, IPPI - 2014 |
Pada
tahun 2013, terdapat sekitar 31% dari pekerja seks berusia 14 – 24 tahun. Artinya bahwa
dari 2.344 wanita pekerja seks di Kalimantan Timur,
terdapat 740 di antaranya adalah anak-anak dan usia remaja, sebagian diantaranya terinfeksi HIV. (Sumber: Yayasan LARAS Kaltim)
Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki pendapatan terbesar dari segi pertambangan. Sekitar 10% dari tenaga
kerja bekerja di sector pertambangan baik batu bara maupun minyak. (Sumber: http://kaltim.bps.go.id).
Pendapatan daerah Kaltim per tahun selalu meningkat, pada tahun 2012 mencapai
$US 985 juta atau Rp 12,31 trilyun. Namun dengan semakin majunya industri pertambangan, semakin meningkat pula dampak sosial ekonomi yang tumbuh
di masyarakat, salah satunya adalah perdagangan
anak ke dunia prostitusi.
Perdagangan anak dan kekerasan seks
Ketika Dinas Sosial melakukan
razia identitas di lokalisasi Bontang, sebagian dari mereka takut
dan berbohong kepada petugas tentang usia mereka. Ada
berbagai penyebab anak bekerja di pelacuran, di antaranya adalah ada yang karena inisiatif
sendiri, ajakan teman/keluarga, atau karena korban perdagangan anak. Pekerja seks anak terbanyak di
Kaltim berasal perdagangan anak dari daerah terpencil di Jawa dan Sulawesi.
Modusnya, anak-anak tersebut diiming-imingi Blackberry dan pekerjaan dengan gaji
besar.
Anak dari keluarga yang rapuh secara ekonomi akan mudah terpengaruh oleh
mafia perdagangan anak. Ketika menyadari mereka hanya menjadi korban penipuan,
para mucikari sudah membebani korban dengan hutang besar. Hutang berasal dari
biaya transportasi dan akomodasi dari perjalanan mereka saat berangkat dari kampung mereka ke Kaltim.
Hal tersebut dialami oleh Ajeng, seorang pekerja seks anak di Kutai Kartanegara. Ia terpaksa menjual diri sejak berumur 16 tahun, karena diajak teman yang
mengaku telah berpendapatan besar. Ajeng
meninggalkan sekolah dan orang tuanya di Jawa demi tawaran
tersebut. Ajeng berparas cantik, ia populer di kompleks pelacuran tersebut. Awalnya, ia merasa menjadi korban penipuan, tapi tidak tahu
harus mengadu kemana. Ia dipaksa mucikari
“melayani” pelanggan di tempat-tempat karaoke. Tidak hanya sekedar menemani minum
tetapi juga sampai ke tempat tidur. Jika menolak, dia dikurung di kamar sempit
di kompleks pelacuran itu. Sampai akhirnya ia pasrah dan bersedia melacur demi
sesuap nasi. Ia depresi dan lari ke alkohol sampai akhirnya ketergantungan
narkoba. Pada tahun
2009, ia divonis terinfeksi HIV melalui VCT yang diselenggarakan NGO lokal. Cerita lainnya adalah tentang pekerja seks anak di Prakla, Bontang, anak ini bernama Ambar (17), ia terinfeksi HIV, hamil dan menularkan HIV kepada bayinya saat persalinan. Pengetahuan yang tidak memadai
tentang bagaimana merawat bayi dengan HIV, membuat bayinya meninggal di kamar sempit berukuran 2x2 meter di lokalisasi.
Ajeng dan Ambar adalah
satu dari sekian banyak korban
perdagangan anak yang terinfeksi HIV. Kasus
yang terjadi pada mereka adalah gambaran kecil dari simpul kekerasan seksual
yang terjadi pada anak-anak. Pertanyaan
besarnya adalah apakah pekerja seks di bawah umur termasuk anak-anak yang wajib
dilindungi negara? Kalau iya, mengapa seolah mereka teralienasi dari kebijakan
pemerintah.
Mengurai simpul kekerasan seks pada anak
Masih teringat saat tahun 2013, saya menanyakan
tentang perlindungan terhadap pekerja seks kepada salah satu pejabat di Dinas
Sosial Bontang, pejabat ini menjelaskan seperti ini “Pekerja seks bukanlah pekerjaan yang diakui negara dan pemerintah Bontang
tidak pernah mengakui keberadaan mereka”. Mereka mengakui tentang adanya
program Dinsos bagi Wanita Rawan Sosial tapi
tidak untuk Pekerja Seks. Mungkinkah Pemerintah hanya
sekedar menggugurkan kewajiban, tidak mencoba menyelesaikan akar permasalahan
yang ada?
Jumlah pekerja seks anak akan terus meningkat jika pemerintah terus menjadikan mereka sebagai objek bukan
subjek dari penyelesaian tersebut. Secara De Jure, pemerintah Indonesia memang tidak pernah
melegalkan pelacuran. Tidak ada payung hukum yang melindungi pemenuhan hak
pekerja seks dan mereka juga tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Padahal terdapat
anak-anak yang sudah terlanjur berada di lokalisasi dan tetap harus dilindungi oleh negara. Implementasi
Undang Undang Perlindungan Anak no.23 Tahun 2002 masih jauh dari harapan karena hukum yang
terkotak-kotak antara pelacuran dan perlindungan anak. Oleh karena itu,
pemerintah wajib melindungi anak-anak yang bekerja di lokalisasi tanpa terkecuali.
Pertama, langkah tersebut dapat dimulai dengan meninjau kebijakan perlindungan
anak, lalu merumuskan kebijakan yang komprehensif tanpa pandang bulu berdasarkan amanah UU no.23 Tahun 20013. Setiap pelaksana kebijakan di
tingkat SKPD harus memahami bahwa konsep “anak” adalah termasuk anak-anak yang
berada di lokalisasi. Ancaman kriminalisasi terhadap mereka harus dihentikan.
Pemerintah harus membawa mereka ke rumah perlindungan yang khusus menangani
anak dengan trauma khusus (seks).
Kedua, harus ada itikad baik dari LSM lokal untuk mengidentifikasi, melindungi dan
menyelamatkan anak-anak yang berada di lokalisasi. LSM adalah ujung tombak dari
perlindungan anak di lokalisasi sebab mereka memiliki program riil yang
bersentuhan dengan pekerja seks, mucikari dan pemangku kepentingan di
lokalisasi. LSM sebaiknya lebih kritis melihat anak-anak bekerja di lokalisasi.
Jangan sampai LSM lebih mengamankan program mereka dibanding harus mengambil
resiko memiliki konflik kepentingan dengan mucikari dan koordinator lokalisasi.
Hal ini harus dihentikan, sebab tidak
akan bisa mengurai simpul permasalahan yang ada. Pandangan ini dapat
menggadaikan keselamatan anak-anak di lokalisasi ditambah lagi akan menambah
jumlah kasus HIV di lokalisasi.
Alienasi pekerja seks anak dari kasus kekerasan
seksual adalah kecenderungan yang terjadi di Kalimantan Timur saat ini. Ini
terlihat dari kebijakan SKPD terkait dan LSM lokal yang enggan mengurusi kasus perdagangan anak ke
lokalisasi. Memang butuh tekad dan keberanian dari setiap pihak untuk menangani dan
menuntaskan kasus kekerasan pada anak. Semoga
setiap pekerja seks anak di tempat-tempat prostitusi dapat terpenuhi haknya dan
keluar dari simpul kekerasan seksual.
"The test of the morality of society is what it's done for its children"
Tulisan ini diajukan dalam "Lomba Blog Ikatan Perempuan Positif Indonesia, IPPI - 2014" dalam rangka
16 hari anti kekerasan terhadap perempuan