#1

Drupadi

#2

Harga Diri

#3

sex workers can end HIV/AIDS.

#4

Silent Body

#5

Everyone's always wearing a mask

Minggu, 05 Februari 2017

Kebakaran di Desa Punagaya, Jeneponto



Pada tanggal 19 Januari 2016 tepatnya pukul 02.00 dini hari, telah terjadi kebakaran di Desa Punagaya.  Saat itu warga kampung sedang tidur saat api mulai muncul di salah satu rumah. Saat ditanya tentang penyebab kebakaran, warga mengaku bahwa api muncul dari atas genteng di rumah salah seorang warga. Api penyebab kebakaran adalah hubungan arus pendek di rumah Pak Sampara’. Pak Sampara’ dan istri tidak berada di rumah saat kebakaran terjadi.  Dengan cepat api menjalar ke rumah lain karena sebagian besar warga masih menyambung kabel ke tetangga untuk mengalirkan listrik ke rumah mereka. Rumah warga sebagian besar yang terbuat dari kayu sehingga api langsung menghabiskan rumah mereka.  Kondisi warga desa cukup tidak menguntungkan karena meskipun mereka tinggal di pesisir pantai, namun saat itu air laut sedang surut. Satuan pemadam kebakaran  yang berlokasi di kota Jeneponto membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 - 40 menit untuk mencapai lokasi kebakaran.
Saat pemadam tiba, 4 rumah warga sudah habis dilalap api.  Tiga rumah diantaranya adalah rumah adik-adik yang saya sering dampingi, yaitu Jusup, Dimas dan Nurmala. Saat kejadian, mereka sedang tidur. Ketika orang tua mereka menyadari terjadi kebakaran, mereka segera dibawa ke rumah tetangga dan keluarga terdekat. Jusup yang tinggal bersama nenek dan adiknya Melani, segera diungsikan ke rumah tetangga. Nurmala tinggal di rumah neneknya, Sugi, tak jauh dari rumahnya. Dimas dan orang tuanya saat itu tinggal bersama tantenya di Kampung La’bua, jauh dari rumah.


Membangun asa kembali ke sekolah

Terkejut dan ketakutan membuat orang tua mereka tidak lagi berupaya untuk menyelamatkan barang-barang mereka. Tak satupun tersisa. Bahkan baju sekolah anak-anak tidak sempat mereka selamatkan. Saat ditanya, Nurmala yang sudah kelas 6 mengatakan sempat takut tidak bisa bersekolah karena tidak ada baju sekolah, buku tulis dan buku pelajaran. Tak satu pun tersisa dari kebakaran, katanya. Namun, gurunya menjelaskan bahwa tidak mengapa ke sekolah dengan baju rumah karena pihak sekolah dan teman-teman sudah memaklumi. Pihak sekolah belum memberikan bantuan berupa seragam, hanya memberikan sebuah buku tulis untuknya agar dapat mencatat pelajaran yang ia terima. Begitu juga dengan Dimas yang saat ini kelas 4, tidak memiliki baju seragam dan buku sama sekali. Meskipun begitu, Nurmala dan Dimas tetap pergi ke sekolah.
Namun lain halnya dengan Jusup. Nenek Jusup mengaku bahwa sudah seminggu Jusup belum mau pergi sekolah sejak kebakaran. Orang tua dan kedua kakaknya saat ini sedang bekerja di Pontianak, Kalbar, sebagai buruh di perkebunan sawit. Nenek yang sudah kerepotan mengurus Jusup dan Melani, tidak berdaya memaksa Jusup agar kembali ke sekolah.  Sudah kelas 5, namun Jusup belum dapat membaca sama sekali. Jauh sebelum ayah Jusup ke Pontianak, Jusup sudah jarang bersekolah karena harus membantu ayahnya di pelelangan ikan, Paotere Makassar. Jusup kehilangan motivasi bersekolah saat itu.
Untuk melanjutkan hidup, saat ini orang tua Nurmala, Dimas dan nenek Jusup harus membangun tempat tinggal sementara. Tempat bernaung agar mereka terlindungi dari panas dan hujan. Tempat tinggal sementara itu dibuat dari bahan lempengan sisa drum bekas dan seng sisa kebakaran. Tempat tinggal Nurmala berukurannya 3 x 5 m, sementara Jusup berukuran jauh lebih kecil, kira kira 3 x 3 m. Ibu Nurmala mengatakan bahwa sejak tinggal di rumah sementara itu, Nurmala masih belum bisa kembali belajar.




 Uluran tangan dari komunitas relawan

Tidak butuh waktu lama bagi adik-adik untuk membangun asa kembali bersekolah. Informasi terkait musibah yang mereka alami dan kebutuhan untuk kembali bersekolah tersebar di komunitas di Makassar melalui sosial media. Beberapa orang menelpon saya beberapa jam setelah saya memposting musibah kebakaran melalui Facebook. Komunitas relawan Sobat Lemina adalah salah satunya. 
Sobat Lemina adalah komunitas di Makassar yang memiliki perhatian khusus pada pendidikan anak. Mereka menghubungi staf SSD GNI di Jeneponto CDP dan meminta data terkait kebutuhan sekolah adik-adik seperti ukuran baju seragam, sepatu dan lainnya. Tiga hari setelah GNI dating ke lokasi kebakaran menemui Jusup, Dimas dan Nurmala, relawan Sobat Lemina mengunjungi Desa Punagaya membawa 3 paket perlengkapan sekolah untuk adik adik. Antusiasme adik-adik luar biasa saat membuka pemberian dari relawan Sobat Lemina. Mereka mencoba sepatu dan seragam sekolah baru mereka. Orang tua dan nenek juga sangat senang menerima uluran tangan dari teman-teman Sobat Lemina. 


Meskipun perhatian dari pihak pemerintah masih sangat kurang, kedatangan dan kepedulian Sobat Lemina memberikan arti khusus bagi adik-adik korban kebakaran. Mereka membutuhkan penyemangat, pemantik untuk melanjutkan pendidikan mereka.Hari sudah sore, saatnya kami dan Sobat Lemina pamit pulang. Jusup, Nurmala dan Dimas mengucapkan terima kasih dan berjanji akan semangat dan rajin bersekolah.

Kami meninggalkan mereka dengan senyuman di bibir mereka.


-          If children have interest then education happens –




Jeneponto, 31 Januari 2017

Kamis, 21 Juli 2016

Karena Chris Gardner tak bertemu Victor Navorsky

Semalam saya putuskan untuk menonton dua film lama ini. Saya tidak akan berbicara tentang aktor ganteng pemeran film ini. Kedua film ini memiliki beberapa kesamaan, namun juga perbedaan ideologi yang mencolok.


 Dalam film Pursuit of Happiness, Chris Gardner, seorang wiraswasta yang baru saja memulai bisnis kecil menjual mesin kedokteran. Bisnisnya mulai terpengaruh oleh krisis ekonomi yang dialami Amerika. Chris bangkrut secara pelan karena daya beli masyarakat yang semakin menurun karena krisis. Tidak tahan dengan kondisi perekonomian yang semakin sulit, istrinya meninggalkan Chris dan anaknya. Chris menjual mesin scan-nya dari rumah sakit ke rumah sakit. Di Amerika, kamu tak bisa mempercayai siapa pun saat itu. Orang jujur pun bisa menjadi kriminal karena sulitnya bertahan hidup.Salah satu solusi yang muncul saat itu adalah bekerja di Dean Witter, salah satu perusahaan pialang yang ternama. Untuk bekerja disana, ia harus menjalani ujian tertulis dan magang sebulan tanpa digaji selama berbulan-bulan. Tagihan sewa yang menunggak membuat Chris dan anaknya harus diusir dari motel. Saat-saat dimana Chris dan anaknya tidur di toilet umum stasiun kereta bawah tanah, sedikit menguras emosi. 

Film ini menggambarkan bagaimana sistem yang ada membuat manusia teralienasi dari lingkungan sosialnya. Tak satu pun teman dan keluarga yang membantu di saat saat sulit. Uang menjadi alat pengikat  kuat relasi sosial saat itu. Tak ada tempat tidur yang hangat dari keluarga. Hukum rimba berlaku. Tak kuat berkompetisi, maka kamu akan habis.  Manusia yang unggul adalah yang "berlari". Berlari ke depan, tak peduli apa yang terjadi di sekitarmu. "Berlari" menghantarkan Chris pada tujuannya. Ia lulus dan diterima bekerja menjadi salah satu pialang Dean Witter. Kompensasi yang cukup adil menurut sistem kala itu. Film ini memenuhi hasrat American Dream, Life, Liberty and Pursuit of Happiness.



Film The terminal menawarkan sesuatu yang berbeda. Film ini bercerita tentang seorang traveler berkebangsaan Krakozia, Victor Navorski, yang terjebak di bandara udara terbesar di AS, karena kudeta yang terjadi di negaranya. Secara yuridis, AS tertutup bagi negara yang situasi politiknya tidak pasti. Ia pun tak bisa pulang ke negaranya karena kudeta masih bergejolak. Viktor Navorski, diperankan oleh aktor watak, Tom Hanks, terjebak  selama 9 bulan. Ia harus tidur di ruang transit internasional, dimana yang hanya bisa dilakukan disana adalah "shopping". Selama terjebak  di bandara, ia membangun relasi sosial demi bertahan hidup. Ia membantu menyelesaikan masalah cinta petugas kebersihan yang menjadi temannya, mendengarkan keluh kesah imigran gelap lansia dari India dan membantu penumpang meloloskan obat di BPOM bandara yang begitu ketat. Victor digambarkan memiliki rasa empati yang hampir terkikis karena di masyarakat. Bandara diibaratkan sebuah negara yang memiliki segenap aturan yang mengontrol dengan ketat perilaku manusia yang hidup di dalamnya. 


Tidak peduli apakah anda seorang pendatang atau warga negara, anda harus patuh dan tunduk pada supremasi hukum yang berlaku di negara tersebut. Begitu pula yang dialami seorang penumpang yang ditangkap karena memaksa membawa obat-obatan masuk ke petugas keamanan bandara. Tak peduli apakah obat tersebut digunakan si penumpang untuk ayahnya yang sedang sakit parah, petugas bandara tetap tidak mengijinkan. Victor diminta menjadi penerjemah. Awalnya, Victor menerjemahkan bahwa obat obatan itu untuk ayah si penumpang. Kepala bandara menjelaskan bahwa seluruh obat-obatan yang masuk di Amerika Serikat wajib disita, tidak diperkenankan dibawa. Tak disangka, si penumpang terselematkan karena bantuan Victor. Ia menerjemahkan obat tersebut tidak dibawa untuk ayahnya, tapi untuk kambingnya. Tentu saja, aturan di Amerika Serikat, memperbolehkan obat-obatan masuk untuk binatang.


Kemampuan Victor membantu menyelesaikan masalah orang lain dianggap sebagai sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial. Kapitalisme mendegradasi sifat komunal dan mengunggulkan individualisme, bukan hal yang baru. Kebaikan hatinya mulai mengganggu sistem yang cenderung teratur. Kemampuannya bertahan hidup dengan mengandalkan dirinya dalam berrelasi menampar muka sang penjaga sistem. Kesepakatan mulai dibuat agar sosialis ini keluar dari sistem dan tak lagi menjadi duri dalam daging. Dengan menggunakan kekerasan dan tipu daya, sistem hampir saja berhasil mengusirnya keluar. Victor diancam akan menekan beberapa temannya kecuali dia kembali ke Krakozia. Ia pun setuju. Namun, sistem sosial yang ia bangun selama sembilan bulan di tempat itu telah mulai mengakar dan mendukung keberadaannya. Victor didukung oleh teman teman yang terdiri dari petugas sekuriti, imigran gelap, penjaga toko dan pekerja bangunan. Ia berhasil keluar bandara dan untuk pertama kalinya. Ia pun memasuki Amerika Serikat. 


Kedua film diatas menggambarkan Chris yang jauh dari lingkungan sosialnya. Tak ada saudara, teman dekat maupun orang baik yang membantu. Ia hidup terasing. Sedangkan Victor, ia berhasil membangun relasi yang baik. Ia mampu bekerja sama dengan baik. Ia adalah orang asing yang tak terasing.
Sutradara the Terminal, Steven Spielberg, berhasil menggambarkan pentingnya manusia hidup bekerja sama, bukan berkompetisi. Di akhir cerita, Spielberg memperkuat tokoh Victor yang sosialis. Kerja kerasnya memasuki Amerika Serikat ternyata demi sebuah tanda tangan dari pemusik idola ayahnya. The terminal menghantarkan pesan sederhana pada kita, be happy to pursuit. Not pursuit to be happy.


Senin, 15 Juni 2015

Kekerasan yang mengeras





"Suatu saat saya pernah bahagia, jatuh cinta, merasa menemukan pasangan yang tepat dalam hidup. Pasangan dimana saya bisa menghabiskan masa tua saya. Dia datang dalam kehidupan saya secara tiba tiba. Membawa harapan dan mata penuh cinta. Belum lama berselang, dia mengunjungi saya , menyebrangi pulau dengan niat begitu mulia. Ingin membantu saya bekerja. Saya trenyuh, terharu, sekaligus bahagia. Mungkin Tuhan sudah menjawab doa doa saya.

Setelah mengenalnya 2 bulan akhirnya kami bertemu. Saya tidak pernah berharap apapun kecuali kehadirannya. Saya tidak berharap lebih, sedikitpun. Rasa syukur yang selalu saya panjatkan, karena saya pikir Tuhan akhirnya mengirim seseorang untuk menemani. Tapi tidak perlu waktu lama, untuk mengetahui bahwa saya salah. 

Teringat pertama kali bertengkar dengannya, dia membanting gitar kesayangannya, hingga hancur berkeping keping. Ia mulai mengancam saya dengan pisau, mencekik dan mengintimidasi saya. Kemudian,tiba tiba dia berangsur membaik pada saya. Saya berharap dia akan meminta maaf suatu saat . Tapi itu tidak pernah terjadi.  Dia diam dan selalu menghindari untuk membahasnya. Hingga kekerasan itu terjadi lagi. Saya diam, dia agresif. Saya agresif, dia lebih agresif lagi." Pengakuan korban kekerasan (anonim)


Posisi perempuan selalu subordinat. Karena itulah kadang perempuan memutuskan menjadi pasif dalam setiap pertengkaran. Menjadi korban sukarela dalam setiap kemarahan laki laki. Sungguh itu adalah kesalahan yang fatal. Tidak baik menyakiti diri sendiri dengan membiarkan dirimu diperlakukan semena mena. Kalian pikir itu ungkapan yang tepat bagi seseorang yang kalian cintai? tentu tidak. . . sebaliknya, itu adalah awal dari penindasan dan kekerasan yang tak akan pernah berhenti. 

Saya melihat beberapa hubungan pernikahan yang kelihatannya baik baik saja,padahal saya tahu bahwa itu hanya kamuflase. Akankah kita mengorbankan hidup kita dengan menikahi laki-laki yang membuat kita selalu berada dalam ketakutan? Pertimbangkan lagi teman. Awalnya, kita seperti tak mau melepaskannya, kita berpikir bisa mengubahnya menjadi orang yang lebih baik. Padahal itu cuma ilusi. Karakter orang tak akan pernah bisa berubah. Jangankan kita yang baru mengenal setahun, ibunya sendiri belum tentu bisa mengubah anaknya dengan segala karakter yang dia punya. 

Ketika kita mencintai seseorang dengan tulus, nothing is really matter.  Kadang kita tahu bahwa kita sedang menjebak diri ke dalam kandang macan, sambil berpikir "saya menyayangi dia, meski saya tau ini salah". Sebenarnya tahu apa kita tentang cinta? toh, kita tak mampu mencintai diri kita sendiri. Kita membiarkan diri untuk disakiti berkali kali. itu bukan cinta, hanya hasrat yang bersembunyi atas nama cinta. Kita baru sadar saat kita sudah di dasar jurang. Lalu apa yang harus dilakukan? Berhenti  mencintai? Tidak. Biarkan saja perasaan itu tetap di dalam dada, menjadi hal baik yang kita miliki. Namun, jangan biarkan itu mengendalikan akal sehat kita. It takes great courage not to shut down our heart or not to keep  it shut down- when we're being hurted. Kita ini makhluk yang berakal budi. Kita bukan robot. Meski kita telah disakiti, kita diajarkan dan diberi anugerah dari Tuhan untuk memaafkan. Maafkanlah. Let it go. Dan hatimu akan tenang dan damai.

Meninggalkan seseorang yang tidak pantas bukanlah dosa, itu seperti bersedekah pada dirimu sendiri. Saatnya memberi makan jiwa dan batinmu. Tak perlu memikirkan masa lalu. Karena sekali lagi, tak ada yang bisa menggagalkan orang yang keras kepala. Jadilah orang yang egois, sesekali. Saatnya memikirkan diri sendiri. Saatnya mencintai hidupmu.

"If you're brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello"

Paulo Coehlo

Kamis, 08 Januari 2015

Mengurai simpul kekerasan seksual; Pekerja seks anak, siapa yang melindungi mereka?


Lomba Blog Ikatan Perempuan Positif Indonesia, IPPI - 2014


Pada tahun 2013, terdapat sekitar 31% dari pekerja seks berusia 14 – 24 tahun.  Artinya bahwa dari 2.344 wanita pekerja seks di Kalimantan Timur, terdapat 740 di antaranya adalah anak-anak dan usia remaja, sebagian diantaranya terinfeksi HIV. (Sumber: Yayasan LARAS Kaltim)

Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki pendapatan terbesar dari segi pertambangan. Sekitar 10% dari tenaga kerja bekerja di sector pertambangan baik batu bara maupun minyak. (Sumber: http://kaltim.bps.go.id). Pendapatan daerah Kaltim per tahun selalu meningkat, pada tahun 2012 mencapai $US 985 juta atau Rp 12,31 trilyun. Namun dengan semakin majunya industri pertambangan, semakin meningkat pula dampak sosial ekonomi yang tumbuh di masyarakat, salah satunya adalah perdagangan anak ke dunia prostitusi.



Perdagangan anak dan kekerasan seks

Ketika Dinas Sosial melakukan razia identitas di lokalisasi Bontang, sebagian dari mereka takut dan berbohong kepada petugas tentang usia mereka. Ada berbagai penyebab anak bekerja di pelacuran, di antaranya adalah ada yang karena inisiatif sendiri, ajakan teman/keluarga, atau karena korban perdagangan anak. Pekerja seks anak terbanyak di Kaltim berasal perdagangan anak dari daerah terpencil di Jawa dan Sulawesi. Modusnya, anak-anak tersebut diiming-imingi Blackberry dan pekerjaan dengan gaji besar.

Anak dari keluarga yang rapuh secara ekonomi akan mudah terpengaruh oleh mafia perdagangan anak. Ketika menyadari mereka hanya menjadi korban penipuan, para mucikari sudah membebani korban dengan hutang besar. Hutang berasal dari biaya transportasi dan akomodasi dari perjalanan mereka saat berangkat dari kampung mereka ke Kaltim. Hal tersebut dialami oleh Ajeng, seorang pekerja seks anak di Kutai Kartanegara. Ia terpaksa menjual diri sejak berumur 16 tahun, karena diajak teman yang mengaku telah berpendapatan besar. Ajeng meninggalkan sekolah dan orang tuanya di Jawa demi tawaran tersebut. Ajeng berparas cantik, ia populer di kompleks pelacuran tersebut. Awalnya, ia merasa menjadi korban penipuan, tapi tidak tahu harus mengadu kemana. Ia dipaksa mucikari “melayani” pelanggan di tempat-tempat karaoke. Tidak hanya sekedar menemani minum tetapi juga sampai ke tempat tidur. Jika menolak, dia dikurung di kamar sempit di kompleks pelacuran itu. Sampai akhirnya ia pasrah dan bersedia melacur demi sesuap nasi. Ia depresi dan lari ke alkohol sampai akhirnya ketergantungan narkoba.  Pada tahun 2009, ia divonis terinfeksi HIV melalui VCT yang diselenggarakan NGO lokal. Cerita  lainnya adalah tentang pekerja seks anak di Prakla, Bontang, anak ini bernama Ambar (17), ia terinfeksi HIV, hamil dan menularkan HIV kepada bayinya saat persalinan. Pengetahuan yang tidak memadai tentang bagaimana merawat bayi dengan HIV, membuat bayinya meninggal di kamar sempit berukuran 2x2 meter di lokalisasi.

Ajeng dan Ambar adalah satu dari sekian banyak korban perdagangan anak yang terinfeksi HIV.  Kasus yang terjadi pada mereka adalah gambaran kecil dari simpul kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. Pertanyaan besarnya adalah apakah pekerja seks di bawah umur termasuk anak-anak yang wajib dilindungi negara? Kalau iya, mengapa seolah mereka teralienasi dari kebijakan pemerintah.



Mengurai simpul kekerasan seks pada anak

Masih teringat saat tahun 2013, saya menanyakan tentang perlindungan terhadap pekerja seks kepada salah satu pejabat di Dinas Sosial Bontang, pejabat ini menjelaskan seperti ini “Pekerja seks bukanlah pekerjaan yang diakui negara dan pemerintah Bontang tidak pernah mengakui keberadaan mereka”. Mereka mengakui tentang adanya program Dinsos bagi Wanita Rawan Sosial tapi tidak untuk Pekerja Seks. Mungkinkah Pemerintah hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tidak mencoba menyelesaikan akar permasalahan yang ada?

Jumlah pekerja seks anak akan terus meningkat jika pemerintah terus menjadikan mereka sebagai objek bukan subjek dari penyelesaian tersebut. Secara De Jure, pemerintah Indonesia memang tidak pernah melegalkan pelacuran. Tidak ada payung hukum yang melindungi pemenuhan hak pekerja seks dan mereka juga tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Padahal terdapat anak-anak yang sudah terlanjur berada di lokalisasi dan tetap harus dilindungi oleh negara. Implementasi Undang Undang Perlindungan Anak no.23 Tahun 2002 masih jauh dari harapan karena hukum yang terkotak-kotak antara pelacuran dan perlindungan anak. Oleh karena itu, pemerintah wajib melindungi anak-anak yang bekerja di lokalisasi tanpa terkecuali.

Pertama, langkah tersebut dapat dimulai dengan meninjau kebijakan perlindungan anak, lalu merumuskan kebijakan yang komprehensif tanpa pandang bulu berdasarkan amanah UU no.23 Tahun 20013. Setiap pelaksana kebijakan di tingkat SKPD harus memahami bahwa konsep “anak” adalah termasuk anak-anak yang berada di lokalisasi. Ancaman kriminalisasi terhadap mereka harus dihentikan. Pemerintah harus membawa mereka ke rumah perlindungan yang khusus menangani anak dengan trauma khusus (seks).

Kedua, harus ada itikad baik dari LSM lokal untuk mengidentifikasi, melindungi dan menyelamatkan anak-anak yang berada di lokalisasi. LSM adalah ujung tombak dari perlindungan anak di lokalisasi sebab mereka memiliki program riil yang bersentuhan dengan pekerja seks, mucikari dan pemangku kepentingan di lokalisasi. LSM sebaiknya lebih kritis melihat anak-anak bekerja di lokalisasi. Jangan sampai LSM lebih mengamankan program mereka dibanding harus mengambil resiko memiliki konflik kepentingan dengan mucikari dan koordinator lokalisasi.  Hal ini harus dihentikan, sebab tidak akan bisa mengurai simpul permasalahan yang ada. Pandangan ini dapat menggadaikan keselamatan anak-anak di lokalisasi ditambah lagi akan menambah jumlah kasus HIV di lokalisasi.

Alienasi pekerja seks anak dari kasus kekerasan seksual adalah kecenderungan yang terjadi di Kalimantan Timur saat ini. Ini terlihat dari kebijakan SKPD terkait dan LSM lokal yang enggan mengurusi kasus perdagangan anak ke lokalisasi. Memang butuh tekad dan keberanian dari setiap pihak untuk menangani dan menuntaskan kasus kekerasan pada anak. Semoga setiap pekerja seks anak di tempat-tempat prostitusi dapat terpenuhi haknya dan keluar dari simpul kekerasan seksual.




 "The test of the morality of society is what it's done for its children"



  Tulisan ini diajukan dalam "Lomba Blog Ikatan Perempuan Positif Indonesia, IPPI - 2014" dalam rangka 

   16 hari anti kekerasan terhadap perempuan

 





























Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More